Tuesday, January 18, 2011

konser Natal ^^

hohoho.... konser natal kali ini menjadi moment paling joss buatku..
karena apa?
karena pada kali ini aku bener-bener menjadi orang repot.
repot panitia
repot mondar-mandir
repot latihan
repot ngurus partitur
repot ngatur jadwal krn latihannya pas dengan ujian smester
haisshh.. pokoknya repot.

jooss capeknya, jooss juga puasnya hahaha :D
ada pepatah mengatakan bahwa berakit kehulu, berenang-renang ketepian. yang artinya bersakit dahulu baru senang kemudian.
pepatah kali ini terbukti dalam pengalamanku kali ini. nih kuceritain....

format konser natal masih sama dengan tahun sebelumnya yaitu diadakan di gereja sebagai kegiatan penutup masa natal. penjualan tiket penonton dibuka untuk umum, jadi siapa saja boleh datang untuk menonton. biasanya dalam konser-konser sebelumnya aku hanya berposisi sebagai player/pemusik saja tanpa terlibat banyak dalam urusan persiapan sebelum konser.
yup kali ini saya sebagai perkap konser tahun ini hehehe.... bagian panitia yang satu ini memang tidak perlu banyak mikir karena haya dibutuhkan kemampuan fisik dan stamina yang oke dalam bekerja. lelah seakan menjadi keseharianku dalam menyiapkan konser ini jadi wajar klo kmarin selama latihan aku seperti orang yang habis lari maraton. hahaha....
oke .. sekarang hal terpenting yang kedua adalah.. aku sebagai principal Cello.
GAwaT!!! asal kalian tau, lagu yang dimainkan ada 18 repertoar. tiap lagupunya bagian solo cello dan notasi yang dibuat oleh sang arranger (mas yus) sangatlah susah. memang di UGM aku juga sebagai principal, tp ini beda di komunitas B01 grade-nya lebih tinggi dmana ada banyak teman-teman dari ISI, seni musik UNY, dan SMM yogya ikut bermain dsini.
konser-konser sebelumnya principal selalu di pegang oleh sang suhu mas Hasta. untuk skill dan kemampuan bermain beliau tidak usah dipertanyakan karena dia adalah salah satu cellis paling senior dan sudah tergabung dalam orkestra profesional. biasanya aku selalu merasa aman-aman saja klo mas hastayang jadi principalnya, tapi sekarang DUUEERR.... bahkan mas hasta pun tergusur harus duduk di belakangku.
alasan aku amjadi principal adalah karena mas hasta tidak bisa mengikuti latihan persiapan karena dia ada Job lain di jakarta, selain itu pemain cello yang lain dianggap belum bisa menjadi principal.
rasanya antara senang dan bingung. senang karena hasil latihanku selama ini membuahkan hasil, bingung karena kenapa harus aku ...

oke. resiko yang harus kuterima adalah aku harus memperbanyak latihan mandiri, rajin latihan bareng, dan bersedia mengajari teman lain yang belum bisa.
dalam sehari aku bisa duduk dengan cello selama 5 jam. amazing! mungkin itu rekorku dalam latihan hahaha
aku harus menguasai tiap-tiap not dengan baik, intonasi, tempo, dan iterpretasi lagu.
dalam konser natal ini yang menjadi musuh ku adalah lagu Farandole.
karena di arransemennya mas yus ada bagian dimana pricipal main solo dengan not dan tempo cepat. tiap hari  aku terus mengulang-ulang bagian itu, "sampai hafal sef" begitu ucap mas hasta saat mengajariku lagu ini.
sebenarnya lagu yang lainpun juga ada banyak not rumitnya tapi masih bisa ku atasi, jadi aku tinggal mengajari teman-teman yang lain.
konserpun dimulai. aku gugup setengah mati... gimana gak gugup bayangkan kali ini mas hasta duduk di belakang dan aku yang didepan dengan kata lain aku gak boleh salah...
"anggap seperti latihan sef" ucap mas hasta sebelum lampu dinyalakn dan kami siap bermain. ku tarik nafas dan jenggg...jengg.... nikmati lagunya dan kamu akan mengalir mengikuti cerita tiap-tiap not yang ada di partiturmu. :) indah.. cantik sekali...
sampaikan semuanya lewat cello.. itu yang kupikirkan saat itu. benar benar anggun.
meskipun ada beberapa kesalahan dalam membaca bowing, semuanya sukses!
samapai akhirnya tiba pada lagu penutup, Farandole...
menelan ludah, menggoyang-goyangkan kaki, merapihkan  lengan baju... terlihat klo aku benar-benar gugup.
dan dimulai. bagian solo kumainkan dengan lancar, tanpa salah, dan .. perfect!
akupun tidak menyangka, semua ,mengalir begitu saja, jari-jari ini seakan sudah tau kemana dia harus bergerak selanjutnya. :D
SENANG!!! meskipun belum bermain bagus 100% rasanya saya sudah sangat puas!
mas hasta kemudian menepuk pundakku dari belakang dan berkata "selamat sef, sukses jadi principal" WOOOOHOOO.... senangnya bisa diakui oleh orang lain...
pemain yang lain pun kurasa juga tidak menyangka kalau aku akhirnya bisa memainkan dengan sukses. hahaha... bahkan setelah konser ada yang mengira kalau akau anak seni musik ISI atau UNY, padahal bukan, aku anak UGM yang belajar cello secara mandiri :p wekekekek....
berharap setelah konser ini membuatku semakin semangat dan giat latihan. hasil latihanitu nyata.
meskipun sedikit perkembangan itu harus pasti ada.

pesan terakhirku sebelum mengakhiri tulisan ini "belajarlah dengan tekun, latihlah apa yang kamu ingin raih, buktikan dan tunjukanlah bahwa kamu juga bisa, jika kamu ingin dianggap maka tunjukanlah dirimu sehingga orang lain tau akan kemampuanmu dan tidak akan meremehkanmu lagi" berat memang dan itulah yang namanya perjuangan. tetap semangat! dan keep play your music!

Monday, January 10, 2011

sok sibuk!!! :p

:D
gambar ini gk ada hubungannya, kecuali tulisan sibuknya :p
Awal tahun 2011 ini aku benar-benar menjadi orang yang sok sibuk hahaha :D
bayangkan aja dari sebelum tahun baru saja sudah disibukkan dengan lat musik untuk misa malam natal dan natal. trus dilanjut bulan januari ini latihan terus, rutin untuk konser natal.

sekarang dari perkuliahan.
kuliahku, awal januari sudah ujian akhir smester, itu tandanya semua tugas akhir harus sudah selesai dan buku-buku setebal kamus harus sudah selesai ku baca juga supaya siap ujian =_=''
mana ujiannya lisan jadi mau gk mau harus menguasai bahan yang setebal kamus itu...

tentunya karena kepadatan jadwal mau tidak mau harus ada yang dikorbankan.
untuk bulan ini aku sengaja meninggalkan latihan Orkestra di UGM karena ada beberapa alasan
1. UJIAN
2. aku lebih fokus latihan untuk konser natal, karena apa? karena mas hasta tidak bisa intensif mendampingi latihan karena kesibukannya sebagai musisi kelas profesional. jadi aku di tuntut untuk bisa menggantikan beliau dan mau gak mau tiap hari aku latihan sendiri agar bisa menguasai materi konser natal besok.

padahal sebenarnya aku juga tidak mau meninggalkan latihan di UGM tapi....
maaf ya kawan... saya cuti sebulan hahaha :p

dan barusan aku di SMS oleh salah seorang teman, tau gak dia bilang apa?
dia menagih aransement!!!
YA TUHAAANNN.... SAYAAA LUPAAA

jadi, bulan maret (klo ndak salah) akan diadakan suatu pementasa teater dalam rangka lustrum fakultas tehnik (ini juga klo ndak salah hehe). dan saya punya hutang untuk meng-composisi 4 buah lagu untuk mengiringi musik dalam teater tersebut.
dan itu tandanya adalah bahwa bulan ini kesibukan saya tambah satu lagi wew... =_=''

moto saya bulan ini : lembur makes us perfect
hahaha :D
padahal dokter sudah melarang untuk begadang klo gk mau di opname (lagi). tp berhubung skrng masih sehat-sehat saja jadi gpp kan dok? hehehe :p

naahh.. berhubung sekarang ujian sudah mau rampung kesibukan beralih ke cello
sisa bulan ini aku hanya mau habiskan untuk latihan cello. bukan hanya untuk mengejar konser natal dan konser UGM besok tapi karena ingin menambah skill.
 "untuk bisa di akui kamu bisa bermain dengan bagus maka, kamu harus berlatih keras agar suatu saat hasil latihan mu itu bisa diakui oleh orang lain yang mendengarkan mu", begitulah kira-kira kutipan dari sang maestro mas hasta :p

melihat teman-teman mengalami peningkatan skill bermain yang signifikan saya menjadi sangat iri. ditambah setelah tau bahwa sang kekasih di luar negri sana juga semakin oke main musiknya, bahkan dia sudah bisa menguasai beberapa alat musik (wow). truss?
ya kejar.. jgn mau kalah... itu aja. :p

intensif cello course, meski ndak ada gurunya saya tetep yakin besok saya pasti bisa meningkatkan skill saya :p hahaha....

okee dehh.. waktu nulis di blog juga gk banyak nih
kan lagi sok sibuk haha :D
selamat bersibuk ria!

Sunday, January 9, 2011

Rindu Versus Sepi

Aku bukan orang yang kuat menahan rindu atau sepi

Bagiku sendirian juga bisa menyenangkan. Karena aku tidak pernah merasa berjalan sendirian. Selalu ada bayang-bayang seseorang. Bayang-bayang yang aku simpan sendiri, aku cinta sendiri, aku rindu sendiri, aku nikmati sendiri. Bayang-bayang yang tumbuh di dalam sepi.

Karena bayang-bayang itu bertumbuh besar dan membiak, maka segala ritme dan gerakannya menyibukkanku dengan banyak rasa. Aku memeliharanya, memupuknya, merawatnya, menyiramnya, menyianginya, seperti aku menanam sepokok kembang, sampai ia berputik, kuncup, mekar, merekah menjadi bunga. Aku gempita di dalam kesendirianku. Tidak pernah merasa sepi.

Lalu ketika mendadak senja meleleh penuh tuba, bayang-bayang itu tetap seperti bayang-bayang yang tidak pernah mengerti betapa aku cinta dan sangat aku rindu. Ia tetap menjadi bayang-bayang yang bergerak liar ke mana dia mau dan melakukan apa yang dia suka. Bukan karena ia tak cinta aku. Tetapi mungkin lebih cinta dirinya sendiri. Padahal sesak itu berhimpitan dengan cinta dan rindu yang tiada berkesudahan. Tiap hela napasku hanya menyemburkan wangi bunga cinta dan embusan harum kerinduan. Ia bukan tidak tahu. Tetapi ia sendiri tidak tahu apa yang dia mau.


Aku merasa menjadi laki-laki paling tolol yang selalu mengucapkan ’’aku cinta padamu’’, juga ’’aku kangen kamu’’. Setiap hari, setiap saat. Seperti matahari tidak pernah bosan terbit pagi hari. Seperti kelopak daun yang selalu berkeringat embun di subuh hari. Seperti aroma tanah kering yang menguap sehabis hujan. Tidak pernah berubah.

Friday, January 7, 2011

OPINI PUBLIK VS. ETIKA PUBLIK


1.            Opini  publik  mengaktifkan  demokrasi.  Tetapi ia menonaktifkan  politik. Opini publik  diperlukan  untuk mendasarkan  penyelenggaraan  kebijakan (ini  adalah  suatu  pekerjaan  rutin  demokrasi),  tapi  juga  dimanfaatkan untuk mengamankan kepentingan pembuat kebijakan (karena dengan itu seolah-olah representasi dan legitimasi dihubungkan). Artinya, atas nama opini publik, opsi  kebijakan dipilih. Tapi juga dengan  menunggangi  opini publik, kepentingan politik diselundupkan. Jadi, demokrasi terselenggara secara teknis melalui opini publik, tanpa mempersoalkan fungsi etisnya. Masalahnya  baru  menjadi  kritis  bila  seseorang  hendak  memandang politik  dengan  cara  lain,  yaitu  sebagai  sebuah  proyek  transformasi, karena  menganggap  demokrasi  telah  menjadi  malas,  karena  hanya berhenti dalam rutinitas institusional. Untuk kebutuhan semacam itulah kita mengaktifkan kontra pikiran dari opini publik, yaitu etika publik. Jadi, etika publik mengaktifkan kembali politik, dengan mempertanyakan isi, prosedur  dan  fungsi  opini  publik.  Artinya,  melalui  etika  publik,  politik dihidupkan  sebagai  soal  ”konfrontasi  etik”,  dan  bukan  ”konfirmasi statistik”.

2.           Memang, opini publik dapat diperlihatkan secara empirik melalui survei. Tetapi tentu itu bukan opini publik yang otentik, melainkan yang statistik. Artinya,  metodologi  tidak  mungkin  memastikan  otentisitas  itu,  bukan saja  karena problem  paradoks  ”the  black  swan”, tetapi  terlebih  karena konsep ”opini” itu  sendiri  selalu bersifat ”in  the  making”, apalagi  bila  ia menyangkut suatu proposal publik (Pemilu, RUU, kebijakan pemerintah). Di  situ  opini  publik  berayun  mengikuti  perdebatan  sekelompok  elit (pakar, politisi, teknokrat, pejabat). Jadi, apa yang secara populer disebut ”opini  publik”  berdasarkan  hasil  survei,  selalu  jatuh  dalam  paradoks epistemik:  pengetahuan  tentang  itu  selalu  tertinggal  oleh  kebutuhan untuk  mengetahuinya,  dan  kebutuhan  itu  sendiri  selalu  tertinggal  juga oleh  hasrat  untuk  menikmati  kepastiannya.  Jadi,  kita  sebetulnya  pergi pada ”opini publik” dalam upaya kita memuaskan hasrat pada kepastian, padahal  maksimal  yang  dapat  kita  capai  adalah  keterangan  tentang ketidakpastian. Tegasnya, kita  memperalat opini publik untuk keperluan metafisis itu. Dengan kata lain, opini publik tidak merupakan kebenaran dalam  arti    ”reality  check”,  melainkan  sekedar  sebuah  strategi  politik yang diperlukan untuk mengamankan tendensi manusia pada kepastian. Artinya,  selalu  ada  kepentingan  untuk  melihat  posibilitas  menjadi probabilitas,  dan  berharap  probabilitas  itu  menjadi  kepastian  (dalam kasus pilkada misalnya- menjadi  elektabilitas). Jadi, selalu  ada surplus psikologis  yang  melampaui kerja  metodologis.  Itulah  fungsi  politik  dari statistik: dugaan berubah menjadi kesimpulan.

3.          Dengan kata lain, mental kita hanya menyebutnya sebagai ”opini publik”,  bila  ia  berhasil  mengkonfirmasi  peristiwa.  Jadi,  secara  mental,    kita sebetulnya  menggunakan  konsep  itu  sebagai  alat  prediksi,  dalam upaya  memuaskan  hasrat  pada  kepastian.  Dalam  politik,  hasrat  pada kebenaran  itulah  yang  menunggangi opini  publik. Pemerintah  misalnya memerlukannya  untuk  membenarkan  kebijakan.  Dalam  persaingan politik, opini publik diperlihatkan sebagai alasan untuk tidak mundur dalam persaingan. Tetapi bila kita  masuk  dalam  konsekwensi konseptualisasi, maka jelas bahwa konsep opini publik tidak dikenal dalam filsafat politik libertarian  misalnya.  Seorang libertarian akan  menganggap opini publik sebagai  ancaman  pada  kemerdekaan  individu.  Tetapi  juga  kalangan kiri  akan  mencurigai  opini  publik  sebagai  alasan  penguasa  untuk mengendalikan  oposisi.  Jadi  opini  publik  itu  lebih  merupakan  suatu wilayah  strategis  yang  diperebutkan  oleh  berbagai  kepentingan,  demi mengolah legitimasi, representasi dan hegemoni.


4.          Karena  itu,  seseorang  memerlukan  teori  ”tentang”  politik,  mendahului teorinya  tentang ”opini publik”. Artinya, gambaran  pikiran tentang ”yang politik”,  akan  mengorganisir  metodologi  dalam  membaca  opini  publik. Jadi, pada mereka  yang  memahami politik sebagai  hanya  urusan tukar-tambah      kekuasaan,  opini  publik  akan  dipelajari  -karena  diperlukan- untuk  memaksimalkan  keuntungan  pertukaran  politik.  Di  sini,  politik adalah  statistik.  Politik  adalah  apa  yang  diperlihatkan  oleh  statistic. Artinya,  politik    tidak  diselenggarakan  secara  preskriptif,  tetapi  cukup dimaksudkan  untuk  mendeskripsikan  masalah  “who  gets  what,  when and how”. Terhadap  soal itu, politik menyodorkan jawaban,  tetapi bukan mempersoalkannya. Jadi, politik menjadi semacam reportase fakta belaka. Sebaliknya,  bagi  mereka  yang  memahami  politik  sebagai  pertarungan nilai, opini  publik  akan  dipelajari untuk  memastikan bahwa  ”something else  is possible”. Di  sini politik justeru merupakan aksi  mempersoalkan opini publik, bukan  karena alasan metodologi, melainkan  karena hasrat pada sesuatu yang lain, pada suatu ketidakpastian.

5.          Hasrat  pada  ketidakpastian  itulah  sebetulnya  yang  merubah  statistik menjadi  politik.  Atinya,  kepastian  yang  diinginkan  melalui  opini  publik (setelah  diamankan  di  dalam  ”kurva  lonceng”),  berubah  menjadi ketidakpastian  ketika  isu  publik  itu memasuki  wilayah  perdebatan  etik. Di dalam wilayah itu, statistik diuji ulang dalam ”totalitas” peristiwa, yaitu ketika  semua  aspek  diperlihatkan  secara  kontras.  Opini  publik  bahkan menjadi  target  operasi  dari  politik  hasrat. Hasrat  itulah  yang  membuat opini publik menjadi ”undecidable”, dan karena  itu tidak  dipakai sebagai pedoman  politik.  Politik  hasrat  tidak  diasuransikan  pada  opini  publik, melainkan  pada  etika  publik.  Karena itu,  opini  publik  tidak  mendahului konfrontasi nilai, melainkan merupakan hasil dari konfrontasi itu. Dalam keterangan inilah kita mengerti mengapa opini publik dapat berbalik arah. Artinya, opini  publik sebetulnya baru bisa diucapkan setelah konfrontasi nilai itu selesai. Jadi,  lebih berguna mendefinisikan opini publik  sebagai lokasi konfrontasi nilai, ketimbang menganggapnya sebagai representasi kebenaran.

6.          Sekedar contoh  (yang  belum  tentu  mencukupi):  Mengapa  setelah  Sri Mulyani mundur, opini publik berbalik memihaknya? Tentu bukan karena ada fakta-fakta baru di dalam ”kasus bank Century” yang membenarkan ”kebijakan  SMI”,  atau  karena  DPR  tidak  lagi  bersuara  keras  setelah Aburizal Bakrie menjadi sekutu SBY. Opini publik berubah justeru karena kontras moral yang tiba-tiba muncul antara Sri Mulyani yang tampil tegar seorang  diri,  tanpa  kekuasaan,  tanpa  jabatan,  dengan  Bakrie  dan SBY yang  nampak  berlebihan  mengumpulkan  kekuasaan.  Nampak  di  sini bahwa  opini  publik  memang  merupakan  lokasi  pertarungan  nilai,  dan karena itu kebenarannya tergantung pada ”situasi-situasi kritis” di dalam struktur diskursus politik.


7.          Situasi krisis  itu  adalah  momen  intelektual  yang  meluruskan  arah pertarungan nilai menuju ujian politik habis-habisan. Di situ, ketelanjangan politik  adalah  tuntutan  etis  tertinggi,  dan  dengan  itu  semua  ke-pura-pura-an berakhir. Konfrontasi kebenaran tidak lagi membutuhkan ”opini publik”,  karena  diskursus  kebenaran  telah  beralih  dari  tatabahasa statistik  ke  tatabahasa  etik  .  Pada  suhu  diskursus  semacam  itu,  yaitu  1ketika  kontras  moral  menjadi  satu-satunya  wilayah  uji  politik,  maka kebenaran  opini  publik  tidak  lagi  menjadi  urusan  komputasi  statistik, melainkan  hasil  konfrontasi  etik.  Di  sinilah  politik  diucapkan  sebagai ”kebenaran” dan bukan sebagai ”opini publik”.

8.          Jadi,  politik  selalu  kembali  pada  akal  sehat  manakala  puncak konfrontasinya  mencapai  batas  toleransi  etis.  Pada  momen  itu  seluruh peralatan  propaganda  untuk  membentuk  opini  publik  kehilangan  daya provokasinya  karena  polarisasi  moral  tidak  dapat  lagi  dimanipulasi melalui  insentif-insentif  psiko-kapital.  Politik  berubah  menjadi kegembiraan  publik, dan  dari situ  solidaritas  dan kesukarelaan tumbuh melampaui  distingsi-distingsi  sosio-kultural.  Momen  intelektual  inilah yang  menghasilkan  ”politics  of  desire”     ,  yaitu  enersi  psikopolitik  yang  2menerobos  ”system  of  thought”,  yaitu  bekuan-bekuan  ideologi,  pagar rasionalitas dan protap obyektivitas. Di situ, politik tidak lagi diasuransikan pada institusi tetapi pada inspirasi. Politik ditempuh sebagaijalan lain”, hanya oleh  subyek yang  tak pernah ingin  menengok  kebelakang. Politik adalah aksi menentukan kehendak, sekalipun kehendak itu berada diluar wilayah aman ”kurva lonceng”


9.          Pembalikan opini publik hari-hari ini, dalam soal Sri Mulyani vs SBY-Bakrie, dapat dipandang sebagai deklarasi politik akal sehat yang menghendaki ”jalan  lain”.  Setelah  itu,  subjektivitas  politiklah  yang  akan  memastikan bahwa jalan itulah satu-satunya yang harus ditempuh.  Di sini, pekerjaan politik  hanyalah  penyelenggaraan  dari  –dalam  istilah  Badiou-  fidelitas, yaitu kesetiaan yang terus mengawasi proses konfrontasi etik itu, sambil terus bergembira bahwa nanti, ”something else is possible” Kebenaran, 3dalam konteks itu, adalah pukulan terhadap ”opini publik”.


10.      Jadi,  lebih  berguna  bila  kita  membicarakan  problem  opini  publik  itu dari  sudut  pandang  proses persaingan nilai,  ketimbang  sebagai konsep statistik. Begitu  juga  dengan  konsep  kebenaran;  ia  tidak berguna untuk dibicarakan, kecuali sebagai pilihan etis yang dipertaruhkan dalam medan opini publik. Dalam pertaruhan etik itulah politik diaktifkan. Sekaligus di situ kita menikmati kesetaraan manusia sebagai kesetaraan sosial. Karena kesetaraan itu, maka politik harus ditempuh melalui jalan argumen.  Dan karena  argumen tidak dapat  difinalkan  dalam  suatu  hirarki  kebenaran, maka  politik  selalu  mempersyaratkan  keberlanjutan  ketidakastian. Di  dalam  kondisi  itu,  opini  publik  tidak  boleh  mendefinisikan  ”sebuah politik”  yang  akan membatalkan kesetaraan sosial  manusia.  Karena  itu opini  publik  harus  dilihat  sebagai  lokasi  percobaan  berbagai  strategi. Jadi,  kita  masuk  dalam  opini  publik  bukan  untuk  menyetujuinya,  tetapi untuk  mendorong  argumen  menuju  ekstrimitas  situasi,  yaitu  dengan meradikalisir  kontras  etika  dari  suatu  peristiwa.  Begitulah  kebenaran ditempuh.

Daftar Kutipan:
-          Baca esai “Arus Pendek Sri Mulyani” dan “Menjaga Harapan” dalam     KONSTELASI  No.26, Mei  1 2010, (http://www.p2d.org)
-          Politik Lacanian ini berguna bukan saja untuk menerangkan situasi, tetapi juga untuk mengha- 2
            silkannya. Baca Patrick Fuery,  Theories of Desire , Melbourne University Press, 1995
-          Pada filsafat politik Badiou, politik bukanlah “everything is possible”, melainkan “something  3
else is possible”. Baca, Alain Badiou,  Ethics: An Essay on the Understanding of Evil , Verso,         2002

Wednesday, January 5, 2011

Cinta BUKAN Cokelat

Entah mengapa cinta kerap dihubungkan dengan cokelat.
apakah karena cokelat itu manis?
Entahlah, 
yang pasti, 
cinta jauh lebih misterius 
dibandingkan dengan sebatang cokelat.

Cinta adalah enigma,
suatu teka-teki
yang begitu pelik
untuk dipecahkan

Ada yang menganggap 
bahwa cinta adalah
seni permainan peran
betulkah itu?

Kamu bukanlah siapa-siapa
sampai akhirnya
kamu dicintai oleh seseorang

kenapa cinta bisa seperti itu ya?
satu detik menjadi sumber masnisnya hidup,
sedetiklagi jadi asal semua derita.

Cinta itu seperti sihir
dalam sekejap ia bisa menggelapkan akal

Kamu secara harafiah
jadi addicted to love...
kamu sakaw Cinta!


Cinta adalah hal
yang paling murni
dari jiwa manusia...

Layak dipertahankan
meski nyawa menjadi taruhannya

John Lennon bilang:
"Love is promise, 
love is souvenir, 
Once given never forgotten, 
never let it disappear."

BE REASONABLE!

The heart was made to be broken
it's fragile 
you know that?

tapi aku tidak mau..
tidak mau membuatnya pecah
meskipun ada sejuta alasan
untuk memecahkannya

Karena, 
Cinta membuat kita
ingin menjadi manusia yang lebih baik

teruslah hidup untuk cinta. End