Friday, January 7, 2011

OPINI PUBLIK VS. ETIKA PUBLIK


1.            Opini  publik  mengaktifkan  demokrasi.  Tetapi ia menonaktifkan  politik. Opini publik  diperlukan  untuk mendasarkan  penyelenggaraan  kebijakan (ini  adalah  suatu  pekerjaan  rutin  demokrasi),  tapi  juga  dimanfaatkan untuk mengamankan kepentingan pembuat kebijakan (karena dengan itu seolah-olah representasi dan legitimasi dihubungkan). Artinya, atas nama opini publik, opsi  kebijakan dipilih. Tapi juga dengan  menunggangi  opini publik, kepentingan politik diselundupkan. Jadi, demokrasi terselenggara secara teknis melalui opini publik, tanpa mempersoalkan fungsi etisnya. Masalahnya  baru  menjadi  kritis  bila  seseorang  hendak  memandang politik  dengan  cara  lain,  yaitu  sebagai  sebuah  proyek  transformasi, karena  menganggap  demokrasi  telah  menjadi  malas,  karena  hanya berhenti dalam rutinitas institusional. Untuk kebutuhan semacam itulah kita mengaktifkan kontra pikiran dari opini publik, yaitu etika publik. Jadi, etika publik mengaktifkan kembali politik, dengan mempertanyakan isi, prosedur  dan  fungsi  opini  publik.  Artinya,  melalui  etika  publik,  politik dihidupkan  sebagai  soal  ”konfrontasi  etik”,  dan  bukan  ”konfirmasi statistik”.

2.           Memang, opini publik dapat diperlihatkan secara empirik melalui survei. Tetapi tentu itu bukan opini publik yang otentik, melainkan yang statistik. Artinya,  metodologi  tidak  mungkin  memastikan  otentisitas  itu,  bukan saja  karena problem  paradoks  ”the  black  swan”, tetapi  terlebih  karena konsep ”opini” itu  sendiri  selalu bersifat ”in  the  making”, apalagi  bila  ia menyangkut suatu proposal publik (Pemilu, RUU, kebijakan pemerintah). Di  situ  opini  publik  berayun  mengikuti  perdebatan  sekelompok  elit (pakar, politisi, teknokrat, pejabat). Jadi, apa yang secara populer disebut ”opini  publik”  berdasarkan  hasil  survei,  selalu  jatuh  dalam  paradoks epistemik:  pengetahuan  tentang  itu  selalu  tertinggal  oleh  kebutuhan untuk  mengetahuinya,  dan  kebutuhan  itu  sendiri  selalu  tertinggal  juga oleh  hasrat  untuk  menikmati  kepastiannya.  Jadi,  kita  sebetulnya  pergi pada ”opini publik” dalam upaya kita memuaskan hasrat pada kepastian, padahal  maksimal  yang  dapat  kita  capai  adalah  keterangan  tentang ketidakpastian. Tegasnya, kita  memperalat opini publik untuk keperluan metafisis itu. Dengan kata lain, opini publik tidak merupakan kebenaran dalam  arti    ”reality  check”,  melainkan  sekedar  sebuah  strategi  politik yang diperlukan untuk mengamankan tendensi manusia pada kepastian. Artinya,  selalu  ada  kepentingan  untuk  melihat  posibilitas  menjadi probabilitas,  dan  berharap  probabilitas  itu  menjadi  kepastian  (dalam kasus pilkada misalnya- menjadi  elektabilitas). Jadi, selalu  ada surplus psikologis  yang  melampaui kerja  metodologis.  Itulah  fungsi  politik  dari statistik: dugaan berubah menjadi kesimpulan.

3.          Dengan kata lain, mental kita hanya menyebutnya sebagai ”opini publik”,  bila  ia  berhasil  mengkonfirmasi  peristiwa.  Jadi,  secara  mental,    kita sebetulnya  menggunakan  konsep  itu  sebagai  alat  prediksi,  dalam upaya  memuaskan  hasrat  pada  kepastian.  Dalam  politik,  hasrat  pada kebenaran  itulah  yang  menunggangi opini  publik. Pemerintah  misalnya memerlukannya  untuk  membenarkan  kebijakan.  Dalam  persaingan politik, opini publik diperlihatkan sebagai alasan untuk tidak mundur dalam persaingan. Tetapi bila kita  masuk  dalam  konsekwensi konseptualisasi, maka jelas bahwa konsep opini publik tidak dikenal dalam filsafat politik libertarian  misalnya.  Seorang libertarian akan  menganggap opini publik sebagai  ancaman  pada  kemerdekaan  individu.  Tetapi  juga  kalangan kiri  akan  mencurigai  opini  publik  sebagai  alasan  penguasa  untuk mengendalikan  oposisi.  Jadi  opini  publik  itu  lebih  merupakan  suatu wilayah  strategis  yang  diperebutkan  oleh  berbagai  kepentingan,  demi mengolah legitimasi, representasi dan hegemoni.


4.          Karena  itu,  seseorang  memerlukan  teori  ”tentang”  politik,  mendahului teorinya  tentang ”opini publik”. Artinya, gambaran  pikiran tentang ”yang politik”,  akan  mengorganisir  metodologi  dalam  membaca  opini  publik. Jadi, pada mereka  yang  memahami politik sebagai  hanya  urusan tukar-tambah      kekuasaan,  opini  publik  akan  dipelajari  -karena  diperlukan- untuk  memaksimalkan  keuntungan  pertukaran  politik.  Di  sini,  politik adalah  statistik.  Politik  adalah  apa  yang  diperlihatkan  oleh  statistic. Artinya,  politik    tidak  diselenggarakan  secara  preskriptif,  tetapi  cukup dimaksudkan  untuk  mendeskripsikan  masalah  “who  gets  what,  when and how”. Terhadap  soal itu, politik menyodorkan jawaban,  tetapi bukan mempersoalkannya. Jadi, politik menjadi semacam reportase fakta belaka. Sebaliknya,  bagi  mereka  yang  memahami  politik  sebagai  pertarungan nilai, opini  publik  akan  dipelajari untuk  memastikan bahwa  ”something else  is possible”. Di  sini politik justeru merupakan aksi  mempersoalkan opini publik, bukan  karena alasan metodologi, melainkan  karena hasrat pada sesuatu yang lain, pada suatu ketidakpastian.

5.          Hasrat  pada  ketidakpastian  itulah  sebetulnya  yang  merubah  statistik menjadi  politik.  Atinya,  kepastian  yang  diinginkan  melalui  opini  publik (setelah  diamankan  di  dalam  ”kurva  lonceng”),  berubah  menjadi ketidakpastian  ketika  isu  publik  itu memasuki  wilayah  perdebatan  etik. Di dalam wilayah itu, statistik diuji ulang dalam ”totalitas” peristiwa, yaitu ketika  semua  aspek  diperlihatkan  secara  kontras.  Opini  publik  bahkan menjadi  target  operasi  dari  politik  hasrat. Hasrat  itulah  yang  membuat opini publik menjadi ”undecidable”, dan karena  itu tidak  dipakai sebagai pedoman  politik.  Politik  hasrat  tidak  diasuransikan  pada  opini  publik, melainkan  pada  etika  publik.  Karena itu,  opini  publik  tidak  mendahului konfrontasi nilai, melainkan merupakan hasil dari konfrontasi itu. Dalam keterangan inilah kita mengerti mengapa opini publik dapat berbalik arah. Artinya, opini  publik sebetulnya baru bisa diucapkan setelah konfrontasi nilai itu selesai. Jadi,  lebih berguna mendefinisikan opini publik  sebagai lokasi konfrontasi nilai, ketimbang menganggapnya sebagai representasi kebenaran.

6.          Sekedar contoh  (yang  belum  tentu  mencukupi):  Mengapa  setelah  Sri Mulyani mundur, opini publik berbalik memihaknya? Tentu bukan karena ada fakta-fakta baru di dalam ”kasus bank Century” yang membenarkan ”kebijakan  SMI”,  atau  karena  DPR  tidak  lagi  bersuara  keras  setelah Aburizal Bakrie menjadi sekutu SBY. Opini publik berubah justeru karena kontras moral yang tiba-tiba muncul antara Sri Mulyani yang tampil tegar seorang  diri,  tanpa  kekuasaan,  tanpa  jabatan,  dengan  Bakrie  dan SBY yang  nampak  berlebihan  mengumpulkan  kekuasaan.  Nampak  di  sini bahwa  opini  publik  memang  merupakan  lokasi  pertarungan  nilai,  dan karena itu kebenarannya tergantung pada ”situasi-situasi kritis” di dalam struktur diskursus politik.


7.          Situasi krisis  itu  adalah  momen  intelektual  yang  meluruskan  arah pertarungan nilai menuju ujian politik habis-habisan. Di situ, ketelanjangan politik  adalah  tuntutan  etis  tertinggi,  dan  dengan  itu  semua  ke-pura-pura-an berakhir. Konfrontasi kebenaran tidak lagi membutuhkan ”opini publik”,  karena  diskursus  kebenaran  telah  beralih  dari  tatabahasa statistik  ke  tatabahasa  etik  .  Pada  suhu  diskursus  semacam  itu,  yaitu  1ketika  kontras  moral  menjadi  satu-satunya  wilayah  uji  politik,  maka kebenaran  opini  publik  tidak  lagi  menjadi  urusan  komputasi  statistik, melainkan  hasil  konfrontasi  etik.  Di  sinilah  politik  diucapkan  sebagai ”kebenaran” dan bukan sebagai ”opini publik”.

8.          Jadi,  politik  selalu  kembali  pada  akal  sehat  manakala  puncak konfrontasinya  mencapai  batas  toleransi  etis.  Pada  momen  itu  seluruh peralatan  propaganda  untuk  membentuk  opini  publik  kehilangan  daya provokasinya  karena  polarisasi  moral  tidak  dapat  lagi  dimanipulasi melalui  insentif-insentif  psiko-kapital.  Politik  berubah  menjadi kegembiraan  publik, dan  dari situ  solidaritas  dan kesukarelaan tumbuh melampaui  distingsi-distingsi  sosio-kultural.  Momen  intelektual  inilah yang  menghasilkan  ”politics  of  desire”     ,  yaitu  enersi  psikopolitik  yang  2menerobos  ”system  of  thought”,  yaitu  bekuan-bekuan  ideologi,  pagar rasionalitas dan protap obyektivitas. Di situ, politik tidak lagi diasuransikan pada institusi tetapi pada inspirasi. Politik ditempuh sebagaijalan lain”, hanya oleh  subyek yang  tak pernah ingin  menengok  kebelakang. Politik adalah aksi menentukan kehendak, sekalipun kehendak itu berada diluar wilayah aman ”kurva lonceng”


9.          Pembalikan opini publik hari-hari ini, dalam soal Sri Mulyani vs SBY-Bakrie, dapat dipandang sebagai deklarasi politik akal sehat yang menghendaki ”jalan  lain”.  Setelah  itu,  subjektivitas  politiklah  yang  akan  memastikan bahwa jalan itulah satu-satunya yang harus ditempuh.  Di sini, pekerjaan politik  hanyalah  penyelenggaraan  dari  –dalam  istilah  Badiou-  fidelitas, yaitu kesetiaan yang terus mengawasi proses konfrontasi etik itu, sambil terus bergembira bahwa nanti, ”something else is possible” Kebenaran, 3dalam konteks itu, adalah pukulan terhadap ”opini publik”.


10.      Jadi,  lebih  berguna  bila  kita  membicarakan  problem  opini  publik  itu dari  sudut  pandang  proses persaingan nilai,  ketimbang  sebagai konsep statistik. Begitu  juga  dengan  konsep  kebenaran;  ia  tidak berguna untuk dibicarakan, kecuali sebagai pilihan etis yang dipertaruhkan dalam medan opini publik. Dalam pertaruhan etik itulah politik diaktifkan. Sekaligus di situ kita menikmati kesetaraan manusia sebagai kesetaraan sosial. Karena kesetaraan itu, maka politik harus ditempuh melalui jalan argumen.  Dan karena  argumen tidak dapat  difinalkan  dalam  suatu  hirarki  kebenaran, maka  politik  selalu  mempersyaratkan  keberlanjutan  ketidakastian. Di  dalam  kondisi  itu,  opini  publik  tidak  boleh  mendefinisikan  ”sebuah politik”  yang  akan membatalkan kesetaraan sosial  manusia.  Karena  itu opini  publik  harus  dilihat  sebagai  lokasi  percobaan  berbagai  strategi. Jadi,  kita  masuk  dalam  opini  publik  bukan  untuk  menyetujuinya,  tetapi untuk  mendorong  argumen  menuju  ekstrimitas  situasi,  yaitu  dengan meradikalisir  kontras  etika  dari  suatu  peristiwa.  Begitulah  kebenaran ditempuh.

Daftar Kutipan:
-          Baca esai “Arus Pendek Sri Mulyani” dan “Menjaga Harapan” dalam     KONSTELASI  No.26, Mei  1 2010, (http://www.p2d.org)
-          Politik Lacanian ini berguna bukan saja untuk menerangkan situasi, tetapi juga untuk mengha- 2
            silkannya. Baca Patrick Fuery,  Theories of Desire , Melbourne University Press, 1995
-          Pada filsafat politik Badiou, politik bukanlah “everything is possible”, melainkan “something  3
else is possible”. Baca, Alain Badiou,  Ethics: An Essay on the Understanding of Evil , Verso,         2002

No comments:

Post a Comment